Made in China (Bagian 2) : Terra-cota Warriors and Horses Museum

Cuaca pada pagi itu sungguh kurang bersahabat. Salju turun dan kabut cukup tebal terlihat di atas kami. Jadi kurang semangat untuk jalan-jalan. Tadinya kami berencana untuk main ke beberapa icon wisata di kota Xi’an seperti Bell Tower, Big Wild Goose Pagoda, dan City Wall. Tapi karena cuaca yang kurang baik, kami memutuskan untuk langsung pergi ke Terra-cota warriors and horse museum, tujuan utama kami datang ke kota Xi’an.

Untuk pergi ke Terra-cota museum cukup naik bus nomor 306 (no.5) atau 307 (no.6) jurusan Terra-cota dari Xi’an Railway Station (east gate), harga tiketnya 7 Yuan. Jangan lupa perhatikan tulisan “Terra-cota” di badan bis selain nomor bis. Karena kami sempat hampir salah naik bis karena hanya memperhatikan nomornya saja. Cukup tanya petugasnya pake 2 kata “Terra-cota?”. Kalau dia menggeleng, berarti bukan itu bisnya.

Kami naik bis 1 kali dari depan hotel lalu turun pas di stasiun kereta Xi’an. Kami mengalami kendala sewaktu naik bis ke stasiun. Ongkos naik bis di Xi’an adalah 1 Yuan. Sementara kami yang baru mendarat tengah malam hanya punya uang receh 1 Yuan, sisanya uang pecahan besar. Padahal saya naik berdua dengan adik saya. Akhirnya saya nekat saja ngomong pake Bahasa Inggris ke penumpang lain yang notabene lokal semua, “Does anyone speak English?” “Does anyone have change? (sambil melambaikan selembar uang 20 Yuan)”. Hening. Tidak menyerah, saya bertanya pada 3 penumpang yang duduk dekat saya. Salah satu mbak-mbak mengeluarkan uang 2 Yuan dan memberikannya pada saya tanpa ngomong apa-apa. Err….  saya mencoba menjelaskan pada dia bahwa saya tidak minta uang tapi mau tukar uang… tapi dia keukeuh ngasih. Akhirnya saya ambil 1 Yuan dan bilang “xie xie” pada si mbak itu.

Setelah membayar ongkos bis (cukup masukkan uang 1 Yuan per orang ke kotak yang telah disediakan) kami berdiri di dekat si mbak tadi.  Tidak lama kemudian ada 1 mas-mas yang berdiri dari kursinya kemudian pindah ke bagian belakang bis tapi tidak turun. Sepertinya sih mau ngasih saya tempat duduk tapi gak berani ngomong karena ga bisa pake Bahasa Inggris. Mungkin saya dikira hamil (padahal cuman gendut) jadi dia kasih tempat duduk. Kemudian mas-mas satu lagi yang duduk di bangku sebelahnya ikutan pindah ke belakang. Saya pikir rejeki ga boleh ditolak, akhirnya saya dan adik saya duduk di bangku yang ditinggalkan 2 mas-mas tadi.

Menurut orang hotel, rute bis kami hanya luruuuus saja. Pasti sampai di stasiun kereta Xi’an. Tapi karena gak tahu ancer-ancernya, saya minta adik saya untuk mencoba tanya ke mbak-mbak yang membantu kami tadi. Sayangnya si mbak tidak mengerti maksud adik saya karena kendala bahasa lagi. Lalu kemudian adik saya kembali ke tempat duduk kami. Tidak lama kemudian si mbak tadi pindah duduk di sebelah saya dan menyodorkan hp-nya berisi pertanyaan dalam Bahasa Inggris yang dia translate dari Bahasa Mandarin menggunakan aplikasi pada hp-nya. “Are you going to the train station?”. “Yes!” Kemudian dia menjelaskan bahwa kami bisa turun bareng dia karena dia juga akan turun di sana. Rupanya stasiun kereta Xi’an  adalah perhentian terakhir dari rute bis yang kami tumpangi. Setelah mengucapkan terima kasih pada mbak-mbak baik hati tersebut, kami pergi ke terminal bis untuk mencari bis yang menuju Museum Terra-cota.DSC01812Terminal Bis di Xi’an. Terlihat di belakang saya “City Wall” Xi’an. Salah satu destinasi wisata di kota ini.

Perjalanan dari terminal bis ke museum Terra-cota memakan waktu kira-kira 1 jam. Bis ini layaknya bis jarak jauh biasa dimana orang bisa naik turun di sepanjang rute bis ini. Ada saatnya bis tersebut sangat penuh sampai-sampai orang harus berdiri. Semacam naik patas AC Jakarta-Depoklah. Keuntungan naik bis dari terminal adalah kami bisa dapat tempat duduk dan cukup diam duduk manis sampai perhentian terakhir, Terra-cota Warriors and Horses Museum.

Sesampainya di perhentian bis terakhir, kami berjalan kira-kira 20 menit menuju pintu masuk museum. Jaraknya lumayan jauh dan tanda petunjuk arahnya juga membingungkan. Kami sempat nyasar (makanya 20 menit) berjalan kaki ke arah Ice World dan bukannya ke Museum Terra-cota. Di sepanjang kami jalan ke arah yang salah tersebut, juga ada beberapa tour provider yang menawarkan untuk side trip di luar Terra-cota. Yakali kami baru sampai masa langsung pergi side trip. Saran kami begitu turun dari bis, ikuti saja penduduk lokal. Biasanya mereka jalan menuju pintu masuk Museum Terra-cota.

Mendekati pintu masuk Museum, ada stand official tour guide Museum Terra-cota yang menawarkan jasa kepada para turis yang datang. Tarifnya 150 Yuan untuk tour keliling Museum selama 2 jam. Mereka sangat gigih dalam menawarkan jasa tour. Jadi kalau tidak mau pakai tour, harus galak nolaknya. Bujuk rayunya adalah di dalam tidak ada penjelasan informasi dalam Bahasa Inggris, lalu, kalian kan tidak setiap hari kesini. Jadi ini adalah kesempatan yang sangat baik untuk menggunakan tour guide. Saat itu kami terperdaya dan akhirnya pakai jasa tour. Tour guide kami bernama Sani. Kami membeli tiket masuk di loket (120 Yuan per orang – sudah termasuk tiket masuk ke Qin Shi Huang’s Mausoleum). Dari pintu masuk, Sani menyarankan kami untuk naik mobil kecil ke museum yang katanya jaraknya cukup jauh, padahal gak jauh sama sekali. Tarifnya 10 Yuan per orang (bahkan lebih mahal dari bis jurusan terminal Xi’an-Museum  Terra-cota yang baru saja kami naiki selama 1 jam). Kalau masih muda dan kuat, kami sarankan jalan kaki saja. Kami menyesal buang-buang uang untuk naik mobil tersebut.

Museum Terra-cota terdiri dari 3 Pit (lubang galian pasukan Terra-cota) dan ruang display serta museum. Pertama kali ditemukan oleh 3 orang petani lokal pada tahun 1974 di Distrik Lintong, Xi’an, Provinsi Shaanxi. Disinyalir terdapat lebih dari 8000 tentara Terra-cota, 130 kereta kuda, 520 kuda, dan 150 pasukan kavaleri di dalam ketiga Pit tersebut. Ini belum termasuk artefak dan pasukan Terra-cota lainnya yang masih terkubur di dalam tanah. Diyakini di dekat kuburan sang Kaisar, Qin Shi Huang’s Mausoleum, masih terdapat banyak pasukan yang terkubur.

Pit 1 adalah yang paling besar dan paling bagus menurut kami. Sani menjelaskan bahwa pembangunan pasukan Terra-cota dilakukan bertingkat-tingkat ke bawah tanah. Bagian tubuh dan kakinya kopong, hanya bagian kepala, tangan dan telapak kaki yang penuh. Bagian tubuh dan kaki dibuat terpisah dengan bagian kepala. Bagian kepala dibuat khusus karena setiap wajah dari pasukan dibuat mengikuti model wajah prajurit yang sebenarnya sehingga setiap pasukan terra-cota memiliki wajah yang berbeda. Setelah semua bagian tubuh disatukan, patung prajurit terra-cota dicat warna-warni. Tapi tentunya sekarang sudah tidak terlihat warnanya karena sudah tergerus waktu ribuan tahun.DSC01884Selamat datang di Museum Terra-cota. Pit 1.DSC01830Pit 1 – tampak samping.DSC01832Zoom in – pasukan terra-cota.DSC01855Pembuatan Pasukan Terra-cota.DSC01851Serupa tapi tak sama. Carilah persamaan pada wajah patung-patung ini.

Sani membawa kami mengitari Pit 1 sambil menjelaskan (dengan cepat) tentang sejarah tempat tersebut dan memberikan kami waktu foto-foto (yang sangat singkat) lalu kemudian berjalan ke Pit 2. Pit 2 berukuran jauh lebih kecil dari Pit 1. Disini kami melihat sisa-sisa kereta kuda dan pasukan terra-cota.DSC01840Pit 2 – Kuda dan pasukan terra-cota. Kereta-nya dahulu terbuat dari kayu sehingga sudah hancur tergerus waktu. 

Sani membawa kami ke toko souvenir (dia bilang “Display room”) dan membujuk kami untuk belanja. Di “display room” tersebut kita bisa melihat banyak replika pasukan terra-cota berbagai ukuran dengan banderol harga yang sangat mahal. Sani bilang bahwa replika disini dibuat dengan material yang sama dari pasukan terra-cota yang asli. Harga satu replika mini dari pasukan terra-cota di “display room” tersebut adalah 100 Yuan (ya hampir sama dengan harga tiket masuk ke museum ini).DSC01852“Display room” – yeah right.DSC01850Mejeng di “display room”.

“Hmm… ini baru hari pertama kami di China, masa udah mau belanja. Mahal pula harga souvenirnya,” pikir kami. Akhirnya meskipun Sani bilang apa, membujuk seperti apa pun, kami tetap tidak bergeming dan hanya menanggapi dengan “hmmm… oh ya? Really? Cool.” Tanpa membeli apapun dari “display room” tersebut. “Mulai aneh nih mbak-mbak tour guide” gunjing kami dalam Bahasa Indonesia.

Sani yang manyun karena kami tidak belanja apapun di “display room” tadi melanjutkan tour kami dengan tingkat penjelasan yang semakin cepat dan waktu untuk foto-foto yang semakin singkat.

Di Pit 3 kami tidak melihat ada reruntuhan pasukan ataupun kuda di sana. Sepertinya sudah dipindahkan ke tempat lain. Di sana ada tempat untuk foto dengan dekorasi pasukan Terra-cota sehingga kita bisa berfoto dari dekat dengan pasukan terra-cota. Disini lagi-lagi Sani “membujuk” kami untuk foto. Tarifnya 30 Yuan per orang untuk foto menggunakan kamera pribadi. Sebenarnya saya mau, tapi karena disitu saya merasa sedih, maksud saya karena saya mulai merasa kesal dengan Sani, akhirnya adik saya saja yang saya suruh berfoto dengan dekorasi tersebut. Sani tambah manyun.DSC01875Pit 3.DSC01859Berfoto dengan pasukan terra-cota. 30 Yuan.

Di Pit 3 ada display dari pasukan dan kuda Terra-cota (sepertinya inilaah “display room” yang sebenarnya) dan kami berfoto-foto di sana sambil di buru-buru oleh Sani disuruh cepat-cepat. Akhirnya saya bilang ke adik saya kita dismiss saja si mbak ini segera, nanti kita balik lagi kemari sendiri.DSC01918Terra-cota warriors.DSC01879Kereta kuda terra-cota.DSC019242000 tahun yang lalu, kira-kira beginilah warna dari salah satu pasukan terra-cota.

Selanjutnya Sani mengajak kami menemui petani lokal yang pertama kali menemukan pasukan Terra-cota pada tahun 1976. Mereka sekarang sudah pensiun dan hanya tertinggal 2 orang dari 3 petani tersebut karena yang satu sudah meninggal dunia. Setiap akhir pekan mereka akan ada di museum sehingga turis bisa menemui dan berbicara dengan mereka.DSC01854Salah satu bapak petani penemu pasukan terra-cota. Semoga panjang umur ya Pak!

Kebetulan kami kesana pada akhir pekan dan kami melihat kedua petani tersebut. Di sini lagi-lagi Sani “membujuk” kami untuk membeli buku kumpulan foto pasukan terra-cota yang bisa ditandatangani oleh kedua petani. Kami menolak membeli dan Sani manyun lagi.

Akhirnya kami sampai pada penghujung tour di Museum Terra-cota. Kami membayar jasa Sani 150 Yuan dan dia meminta tip. Kami tambahkan 50 Yuan untuk tip dan kami berpisah. Bhai! Setelah dia pergi, kami kembali ke Pit 1 dan berfoto lagi karena tadi sangat sebentar disana. DSC01894Cukup waktu untuk mengagumi keindahan peninggalan sejarah ini.

Kami juga menyusuri lagi Pit 2 dan 3 serta display room tanpa ada gangguan tour guide yang selalu menyuruh kami buru-buru. Kami membeli souvenir dari pedagang yang keliaran di Museum, 5 miniatur pasukan terra-cota dengan kotak yang bagus seharga 140 Yuan. Kami pikir itu sudah murah, tapi ada lagi yang menawarkan barang yang sama dengan harga 70 Yuan. “Buset. Ini barang sebetulnya berapa sih harganya,” pikir kami. Kami juga membeli magnet kulkas di toko di luar museum seharga 40 Yuan (karena toko yang di dalam museum menjual dengan harga 120 Yuan per magnet), namun belakang kami tahu ternyata itu masih mahal.

Jadi ada 3 hal yang kami pelajari dalam perjalanan kami di Museum Terra-cota. Pertama, saran kami sebaiknya tidak usah membeli souvenir di area museum karena di bandara juga ternyata ada dengan harga yang lebih murah. Kedua, tidak usah juga pakai tour guide karena ternyata reseh. Ketiga, di pintu masuk, di pintu keluar, di area souvenir, berjalanlah menempel dengan rombongan turis lokal. Karena jika kita berjalan sendiri, niscaya akan banyak pedagang atau tour operator gangguk yang gigih menawarkan produknya pada kita dan kita akan capek sendiri berusaha menolaknya karena mereka sangat gigih.

Usai putar-putar di Museum Terra-cota, kami pergi ke Qin Shi Huang’s Mausoleum yang termasuk di harga tiket kami. Untuk pergi ke Mausoleum cukup naik shuttle bus yang disediakan (gratis) dari halte yang terletak di dekat stand official tour guide.DSC01929Di pintu keluar Museum Terra-cota banyak pedagang. Kalau tidak mau beli, usahakan jaga jarak 5 meter dari stand dan jangan nengok-nengok ke arah stand *pasang kacamata kuda*DSC01934Karena kami lapar, kami beli mie kuah take away dari salah satu stand makanan di pintu keluar. 20 Yuan.DSC01936Taman di luar Museum Terra-cota.

Kami sampai di Mausoleum sekitar jam 4 sore. Area ini terdiri dari bukit tempat Kaisar disemayamkan dan taman yang sangat luas.DSC01939Sepaket dengan Museum Terra-cota. Situs ini juga termasuk UNESCO World Heritage.DSC01944Taman di sekitar Mausoleum. Guedeee bangeeet!DSC01957Xie-xie Xi’an!

Kami berputar-putar di sekitar tempat ini menuju bukit (yang tidak bisa dimasuki) sebelum akhirnya kembali ke kota Xi’an naik bis (no.306/no.307) dari tempat parkir di Mausoleum. (npa)

Made in China (Bagian 1) : Ni Hao Xi’an!

Bukan. Made in China disini artinya bukan ‘buatan China’ ataupun dibuat di China, melainkan ‘Made di China’. Ya, perkenalkan nama saya Putu dan Made adalah adik saya yang jadi partner traveling saya kali ini ke China selama 10 hari.DSC01800Sewaktu transit di KLIA.

Awalnya saya berencana pergi bersama Feliks dan Willy. Namun, karena satu, dua, tiga, dan lain hal, akhirnya saya pergi berdua saja dengan adik saya. Rute kami adalah Jakarta-Xian-Shanghai-Beijing-Harbin-Xian-Jakarta. Rute yang cukup ambisius mengingat waktu kami hanya 10 hari dan jarak antar kota yang ingin kami kunjungi cukup jauh.

Perlu waktu yang cukup lama bagi saya untuk merampungkan itinerary trip ke China ini di sela-sela kesibukan (baca: kemalasan). Masalahnya adalah sempitnya waktu dan banyaknya kota yang akan kami kunjungi, membuat opsi transportasi antar kota tersebut tidak bisa tidak haruslah pesawat terbang. Saya sempat mempertimbangkan opsi untuk naik kereta dari Beijing ke Harbin misalnya. Namun, opsi itu kurang menggiurkan mengingat waktu tempuh yang 20 jam dan harga tiket kereta yang ternyata malah lebih mahal daripada tiket pesawat domestik.

Kami naik pesawat Air Asia untuk ke Xi’an, kota pertama yang kami kunjungi di China. Beli tiketnya udah dari bulan September 2014, kebetulan dapat tiket promo 3,8 Juta Jakarta-Xi’an pp. Pasca kecelakaan pesawat AA bulan Desember 2014 yang lalu, agak ngeri juga. Apalagi sedang musim hujan. Untungnya penerbangan kami aman-aman saja. Kami berangkat 30 Januari 2015 pagi hari dan transit di KLIA, Kuala Lumpur-Malaysia lalu lanjut ke Xi’an dan mendarat di sana tengah malam. Airport di Xian adalah Xi’an Xianyang International Airport (XIY), terdiri dari 3 terminal dimana terminal 2 khusus domestik dan terminal 3 digunakan untuk domestik dan internasional. Kurang paham juga dimana letak terminal 1-nya. Waktu di sana ga sempat lihat.

Karena saat itu sudah tengah malam, kami memutuskan untuk tidur di airport. Pertimbangannya adalah berdasarkan info yang saya dengar dari beberapa teman yang sudah ke China, belum banyak orang yang berbahasa Inggris, ini termasuk supir taksinya. Selain itu jarak dari bandara Xianyang ke pusat kota cukup jauh (sekitar 1 jam). Jadilah karena khawatir sudah malam dan takut dibawa muter-muter sama supir taksi, kami menginap di bandara. Bukan opsi yang terlalu bagus, mengingat saat itu musim dingin dan suhu di luar -4 derajat celsius dimana Arrival hall tempat kami numpang tidur tidak menyala heaternya. Begitu mendarat di Xi’an kami membeli tiket Airport bus untuk hari berikutnya kemudian mencari tempat duduk untuk tidur.DSC01803Penampakan eskalator di dekat bangku tempat kami numpang tidur.

Saat kami sedang melamun di salah satu bangku di Arrival hall tersebut sambil menunggu kantuk, kami diliatin oleh 2 ibu-ibu cleaning service. Berusaha untuk sopan, kami sapa mereka dengan “ni hao”.  Eh, malah mereka datang menghampiri kami sambil bicara bahasa mandarin. Berbekal buku percakapan sederhana yang kami bawa dari Jakarta, kami bilang “wo bu hui shuo Zhongwen” yang artinya “saya tidak bisa berbicara bahasa China.” Namun, kedua ibu itu terus saja ngerocos. Kami berdua hanya bisa nyengir kebingungan. Dalam hati sih agak khawatir, jangan-jangan kedua ibu ini mengusir kami dari bandara karena tidak boleh menginap di bandara. Tak lama kemudian ada mbak-mbak berjilbab yang duduk di bangku sebelah menyapa kami dalam bahasa Inggris. Rupanya mbak itu adalah mahasiswa China yang sedang kuliah di Kuala Lumpur dan dia tadi naik pesawat yang sama dengan kami. Dialah yang menjadi penerjemah kami dengan kedua ibu tersebut.

Rupanya kedua ibu ini mau ngasih tau kalau di hall itu suka ada bersih-bersih malam-malam. Kalau lagi bersih-bersih, ga boleh ada di hall itu. Tapi kalau ga ada sih boleh aja diam disitu sampai pagi. Mereka menyarankan kami untuk pindah ke Departure hall karena lebih banyak orang di sana yang numpang tidur kalau mau bisa sewa sleep box atau tidur di hotel dekat bandara, demikian penjelasan si mbak mahasiswa ke kami. Dia juga ternyata berniat untuk tidur disitu karena pesawat dia jam 8 pagi hari berikutnya. Akhirnya kami memutuskan untuk tetap tidur di Arrival hall.

Si mbak mahasiswa namanya Lia. Dia berasal dari Inner Mongolia (salah satu provinsi di China) dan dia muslim. Saat ini dia sedang kuliah di sebuah universitas di Kuala Lumpur dan sedang pulang ke China karena mau Imlek. Bersyukur banget ada dia yang bisa nerjemahin percakapan dengan ibu-ibu cleaning service tadi. Kami ngobrol-ngobrol sepanjang malam baru kemudian (berusaha) tidur.

Tidur di bandara tanpa heater saat musim dingin sungguh betul-betul sengsara. Kaki dan tangan saya membeku! Untungnya tidak jauh dari tempat kami duduk ada mesin air minum gratisan yang ada air panasnya. Jadi kami bolak balik ambil air panas pakai botol air mineral sekedar untuk menghangatkan tangan yang membeku. Alhasil saya hanya berhasil tidur 1 jam karena udara yang super dingin.

Menjelang pagi, Lia pamit untuk pindah ke Departure hall karena mau check in untuk penerbangannya ke Inner Mongolia. Tidak lama setelah itu kami menunggu bus di depan bandara untuk menuju hotel kami. Bus paling pagi dari bandara adalah jam 7.40, tapi karena saat itu musim dingin, jam segitu pun masih berasa seperti subuh.

Perjalanan dari bandara ke kota memakan waktu sekitar 1 jam 15 menit. Kami turun di stopan terakhir “Xi Shao Gate” kemudian lanjut naik taksi (30 Yuan) menuju hotel. Hotel kami adalah Ibis Xian Heping.DSC01804Pemandangan dari jendela kamar hotel. Ga menarik yah.. hahahaDSC01805Quite decent. Lumayan banget 200ribuan ini mah ^^

Letaknya cukup strategis dan rate kamarnya hanya 200 ribuan semalam. Karena kami berdua jadi split setengah-setengah bayarnya. Harganya jadi sama dengan kalau menginap di backpacker hostel di Singapur atau Jepang misalnya untuk 1 orang, tapi kami dapat kamar private dengan kamar mandi dalam. Untungnya harga kamar hotel di Xi’an tidak jauh berbeda dengan di Jakarta. Sesampainya di hotel kami istirahat sejenak sebelum memulai petualangan kami di kota Xi’an. (npa)

Java Over Land (3)

Our train departed from Yogyakarta to Malang at midnight. We arrived in Malang around 8 in the morning. We didn’t book any hostel before so we had to find accomodation first. Knowing no one in town, we were lucky to find a cheap and comfy hostel near the station. It only cost us 10 bucks for a room with twin beds. To tell you the truth, I barely know anything about this town except for its apple which is well distributed in Indonesia (I guess).apel malangMalang’s apples. Good to make apple pie.

Therefore, the first thing we did was browsing some information about its touristic spot.

Our highlight in Malang was to visit Mount Bromo and see sunrise from Mount Penanjakan. Since we had to depart from Malang very early to go to Bromo (like 3 in the morning), we decided to use tour service. That way we got a car and a driver which also acted as tour guide that will pick us up at the hostel at 3 in the morning the next day.

After we booked the tour to Bromo, we decided to find this hamburger restaurant that sell huge-size burger in Malang and then go to Batu.DSCI0342It’s called “Burger Buto” Buto means giant in local language.DSCI0348My brother ordered hotdog though.

We had no problem finding the restaurant, the problem was when we go to Batu. Batu is a town nearby, around 20 km to the west of Malang. There were Selecta theme park, Batu Night Spectacular, and many more. One of the Angkot (public mini van) we rode offered to take us to Batu with Rp 80,000.00 each (now it’s around 6 USD). I thought it might be a good offer since we didn’t have to go through the hassles of transfering public transport to reach Batu. However, on our way to reach the final terminal for the Angkot, I felt sleepy due to the excess activities in the past 2 days in Yogyakarta before we reached Malang. My brother even fell asleep in the Angkot! I didn’t realize we were exhausted. Thus, we cancelled the Batu trip and went straight back to the hostel. I remembered it was still early afternoon and we slept right away as soon as we reach the hostel  only to be awaken at 7 in the evening to have dinner.DSCI0370On our way to have dinner, we found this Arema fans club cafe. Arema is the local football club well loved by the people of Malang.DSCI0371The Lion of Arema.

We woke up at 2.30 AM the next day to start our tour to Bromo. We checked out early from the hostel since we has to ride the train to Surabaya right away after our Bromo trip. The driver arrived at 3 AM and we departed to Bromo. The ride to Bromo was long. I didn’t remember anything before we reached the foot of the mountain since I had been sleeping the in the car. The ride to the top from the foot of the mountain was groovy. It was pitch black outside the car and the road was kinda off-road. We change the car into jeep due to the hilly contour of the road and arrived around 4 AM at the viewing point of Mount Penanjakan. It was freezing cold there! We need to rent a thicker coat to fight the freezing temperature. We stop at a warung to wait for a while before hiking to the viewing point.DSCI0384

There were many people coming to see the sun rise from the viewing point of Mount Penanjakan. It was silent when we arrived at the point, and 30 minutes later the place was packed with tourists who wanted to see the sunrise.DSCI0405DSCI0403We met Pepi at Mount Penanjakan. Pepi was a tv host in Indonesia. At that time he was hosting a food and travel show in our national tv program.DSCI0454The sun was rising and the darkness fade.DSCI0444Dawn at Mount Bromo.DSCI0465DSCI0469DSCI0482Sea of clouds.DSCI0473Another sight seen from Mount Penanjakan.

After viewing the sun rise, we went to Mount Bromo to see its caldera. To reach the mountain, you  can either walk or ride a horse. We chose the second option only for the sake of trying it. Although we had to admit that it’s quite far from the parking lot to the foot of Mount Bromo.DSCI0492Riding a horse to Mount Bromo.DSCI0493Stairs to heaven. To see it’s caldera, you have to hike the stairs built on the side of the Mount Bromo.DSCI0499The caldera of Mount Bromo.DSCI0503Behind my brother was a Hindu temple. The temple survived the eruption of Mount Bromo years ago despite the fact that other things that surrounds it perished.DSCI0507

Beside hiking Mount Bromo, you can also visit Pasir Berbisik, a deserted area. It looks like a desert and we wanted to see it but the driver said we had to pay another Rp 300,000.00 (around 25 USD) to reach that place because it’s quite far. After considering the money we had spent so far, we decided not to. If you want to visit Mount Bromo, it’s better to go in group. That way you can share the cost for the rented jeep and travel to more spots around Mount Bromo with a cheaper price.DSCI0484Bye-bye Mount Bromo.

After the Bromo tour, the driver promised us a short visit to Candi …. before taking us to the train station. But as soon as we arrived there, it was just a small site located in a neighbourhood.DSCI0511Such an anti-climax.

I’m not even sure until now if he really took us to a historical site. We didn’t even get off from the car and go straight to the train station after that. Lesson learned from this trip was, always book your tour early. This way you can spend more time to assess whether the tour you wanted to book was a good one or not. (npa)